Sifat Tauqifiy(5) Nama-Nama Allah SWT.
Sementara ulama, salah satunya Al-Baihaqi, berpendapat bahwa nama-nama Allah SWT ditetapkan atas dasar redaksi nash yang jelas, baik dari kandungan (dalalah) maupun dari derivasi katanya (isytiqaq). Seperti : al-Qadim, al-Daim, al-Badi’, dan semisalnya.
Pendapat yang sahih adalah bahwa semua nama-nama Allah SWT adalah tauqifiy. Hanya ditetapkan dengan redaksi dalil yang jelas, bukan berdasarkan dalalah atau derivasinya belaka.
“Nama-nama Allah SWT semua bersifat tauqifiy, bukan hasil perenungan akal dari makhlukNya semata. Karena itu, merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits sudah menjadi hal yang musti. Tanpa tambahan tanpa pengurangan. Sebab akal tidak mampu menjangkau nama apa saja yang disandang oleh Allah secara tepat menurutNya, melainkan melalui firmaan-firmanNya dalam Al-Qur’an atau yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Ini didasarkan pada ayat : “Janganlah kamu ikuti apa pun yang kamu tiada mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya pasti dimintai pertanggungjawaban.(6) Juga ayat: Katakan : hanyasanya Tuhanku mengharamkan hal-hal keji (baik zhahir maupun bathin), tindakan dosa, melampaui batas tanpa haq; dan jamgan kalian sekutukan Ia dengan apa pun yang tiada Ia turunkan suatu bukti tentang itu; serta jangan kalian mengatakan apa yang tiada kalian ketahui atas nama Allah.(7) Selain itu, menamai Allah dengan nama yang tidak pernah Dia peruntukkan untuk diriNya atau mengingkari nama yang telah Dia tetapkan untuk diriNya adalah kesewenang-wenangan terhadap hakNya,” demikian ungkapan Syekh Ibn ‘Utsaimin.(8)
(5)Ditentukan olehNya sendiri baik melalui Al-Qur'an atau Hadits.
(6)Q.S Al-Isra’ : 36.
(7)Q.S Al-A’raf : 33.
(8)Syekh Ibn ‘Utsaimin, Al-Quwa’id Al-Mutsla fi Shifatihi wa Asmaihi Al-Husna, hlm. 16.
Referensi :
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2009. Berkenalan dengan Allah lewat Asma'ul Husna. Yogyakarta : Mitra Pustaka.
Pendapat yang sahih adalah bahwa semua nama-nama Allah SWT adalah tauqifiy. Hanya ditetapkan dengan redaksi dalil yang jelas, bukan berdasarkan dalalah atau derivasinya belaka.
“Nama-nama Allah SWT semua bersifat tauqifiy, bukan hasil perenungan akal dari makhlukNya semata. Karena itu, merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits sudah menjadi hal yang musti. Tanpa tambahan tanpa pengurangan. Sebab akal tidak mampu menjangkau nama apa saja yang disandang oleh Allah secara tepat menurutNya, melainkan melalui firmaan-firmanNya dalam Al-Qur’an atau yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Ini didasarkan pada ayat : “Janganlah kamu ikuti apa pun yang kamu tiada mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya pasti dimintai pertanggungjawaban.(6) Juga ayat: Katakan : hanyasanya Tuhanku mengharamkan hal-hal keji (baik zhahir maupun bathin), tindakan dosa, melampaui batas tanpa haq; dan jamgan kalian sekutukan Ia dengan apa pun yang tiada Ia turunkan suatu bukti tentang itu; serta jangan kalian mengatakan apa yang tiada kalian ketahui atas nama Allah.(7) Selain itu, menamai Allah dengan nama yang tidak pernah Dia peruntukkan untuk diriNya atau mengingkari nama yang telah Dia tetapkan untuk diriNya adalah kesewenang-wenangan terhadap hakNya,” demikian ungkapan Syekh Ibn ‘Utsaimin.(8)
(5)Ditentukan olehNya sendiri baik melalui Al-Qur'an atau Hadits.
(6)Q.S Al-Isra’ : 36.
(7)Q.S Al-A’raf : 33.
(8)Syekh Ibn ‘Utsaimin, Al-Quwa’id Al-Mutsla fi Shifatihi wa Asmaihi Al-Husna, hlm. 16.
Referensi :
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2009. Berkenalan dengan Allah lewat Asma'ul Husna. Yogyakarta : Mitra Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar